Overblog
Edit post Follow this blog Administration + Create my blog

Jika diperas, inti Al-Quran ada di Alfatihah. Jika diperas lagi, inti Alfatihah ada di ayat pertama. Jika diperas lagi, intinya ada di kata Rahman-Rahim

21 Apr

MEMELUK IBU DENGAN DO’A

Published by Gerakan Islam Cinta

Gambar : deviantart.com

Gambar : deviantart.com

Aku mengenal ibuku sejak belum lahir, sejak sebelum ada aku. Dari dalam rahim aku menerima asupan menerima kebaikan-kebaikan yang diolahnya di dunia, ia singkirkan keburukan-keburukan agar tidak ikut ku rasakan. Sekali ku tendang perut ibu, bukannya marah ia justru senang memangga-banggakan gerak-gerikku kepada ayah dan siapa pun disekitarnya.

 

Tumbuhku membuatnya semakin tak enak badan, tak nyaman bergerak, tak nyenyak tidur dan semakin berat mengerjakan apapun. Ketika sangat mulas dan merasa waktu kelahiranku sudah dekat ibu kuat menahan tangis dan bersegera mempersiapkan jiwa dan raga untuk bertaruh nyawa demi keselamatanku, demi hidupku. Hidupnya tidak lantas menjadi ringan setelah ku keluar dari dalam dirinya, ibu masih harus menyusuiku sampai genap waktu. Bertambah bulan, bertambah repot tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya menyuapi aku, mengurus kotoranku, memandikan aku, meminyaki tubuhku supaya hangat, menimangku hingga tidur, memilihkan pakaian yang cocok dengan suasana, mengingatkan orang-orang agar tidak berisik dan entah apalagi, tidak terhitung.

 

Ketika tiba masaku untuk bermain ia rela menjual apa saja perabot rumah demi satu buah mainan, menyisihkan nafkan dari ayah untuk satu buah permen yang ku minta dengan teriakan dan rengekan. Saat sudah harus bersekolah ia mengantar jemput melebihi kesetiaan siapa pun, ia merapihkan penampilanku. Kini ibuku telah tiada, belum cukup kesanggupanku untuk menyenangkan hatinya dan memang tidak ada yang sanggup menggantikan posisinya dan membalas jasanya yang tiada tara. Tidak bhaktiku, tidak pula kebanggaan yang telah ku usahakan untuknya, justru mengasuk cucu-cucu dari hasil pernikahan anak-anaknya adalah kesibukan berikutnya yang karenanya ibu tidak bisa jadi istirahat.

 

Meski berkirim uang bulanan sepanjang hayat untuk ibu aku tak akan pernah bisa membeli jerih payahnya merawat dan membela anak tanpa rasa takut. Aku telah menyia-nyiakan ibu dan beranggapan bahwa ia tak akan tega meninggalkan aku dalam kekhawatiran. Aku salah dan terlambat menyadari kesalahan itu ketika ibu telah berpulang.

 

Dulu ibu menumpahkan darah dan mengerang kesakitan saat melahirkan aku dan kini justru aku tidak ada di sisinya ketika ia menghadap akhir masa. Ibu telah pergi dan takkan pernah kembali, ibu berpulang kepada Allah yang maha pengasih dan maha penyayang tepat di bulan ramadhan tahun lalu, kini ramadhanku sepi tanpa ibu. Dari senyumnya yang terakhir yang ku lihat dari roman wajahnya yang cerah namun telah berbaring di peti jenajah bisa kurasakan betawa ia masih memberikan pelukan hangat seolah-olah ku dengar ia berbisik bahwa mati itu tidak apa-apa, tidak ada yang perlu diratapi. Jika kelahiran dirayakan maka kematian tak selayaknya disangkal dengan jerit dan tangis air mata.

 

Aku mengantar ibu hingga masuk ke liang lahat, mengatur posisi jasadnya dan memastikan ia dalam sikap raga yang paling sempurna untuk menghadap Allah. Tentang kesiapan dan sikap jiwa aku tak akan pernah lebih hebat dari ibu yang mengajariku tauhid sejak kecil, aku mengenangnya sebagai pengantar yang setia. Mangantarkan aku kepada pemahaman-pemahaman tentang iman, ilmu dan amal. Mendampingi aku menghadapi kesedihan, cobaan dan kenyataan apapun. Membawaku kepada guru-guru untuk belajar tentang adat, sopan-santun dan pengabdian. Ibu adalah sumber dari segala sumber ilmu dan lebih dari cukup bagiku sesungguhnya untuk belajar kebaikan hanya darinya, namun ia rendah hati mendorongku ke sekolah-sekolah dan rumah siapapun yang arif dan bijaksana tanpa harus menggurui kepada siapapun yang belajar.

 

Ibu mendorongku untuk terus belajar, bagiku ibulah maha guru. Ibu adalah bumi, dari dalam ia memberi hasil, dari luar ia mengajari berproses, dari segala arah apa adanya ia menerima. Bahasa ibu adalah bahasa rindu, bagaimanapun ia disakiti ia selalu mencintai. Ia rela untuk tidak lega, ia tenang untuk mengalami kecemasan. Ibu memilih kata-kata yang paling tepat untuk menegor anak-anaknya tanpa merendahkan kehormatan mereka dan tanpa menjatuhkan semangat.

 

Ibu menerima anak-anaknya pulang ke pelukanya ketika mereka menghadapi masalah namun tidak menuntut apapun ketika dilupakan dan ditinggalkan ketika mereka bersenang-senang. Ibu tak pernah merasa berjasa, tak pernah meminta imbalan padahal tak pernah percuma segala yang telah ia didik dan ajarkan kepada anak-anaknya. Diatas segala-segalanya ada cinta, di puncak-puncak cinta ada rindu dan ibu adalah cinta itu, sekaligus dialah sang rindu.

 

Setiap berdo’a dalam sujud dan tengadah, ketika tak ada satu pun anak yang menanyakan kabarnya ia setia memintakan kebaikan-kebaikan. Dalam diam pun ibu berdzikir dan memintakan ampunan buah hatinya dengan keyakinan bahwa jika benar maka “itulah anakku” namun jika salah maka “itu kealfaanku”. Ibu menimpakan kesalahan atas perilaku dan perbuatan anaknya pada dirinya sendiri, dengan mawas diri yang paling hebat yaitu anak adalah hasil didikan ibu. Disisi lain ibu membanggakan prestasi anaknya dengan tawadhu terbaik, bahwa anaknya lah yang telah berusaha keras untuk berhasil. “Ibu cuma bisa berdo’a nak, tak bisa memberikan apapun selain itu” ucap ibu lirih.

 

“Ibu, apakah do’aku cukup untuk memeluk ibu yang telah damai dipelukannya? Ibu, masihkah kau bisa memohon? Ibu, masihkah kau bisa mendo’akanku? Dalam hidup tak ada yang lebih baik darimu ibu, tak ada”.

 

#Filosufi - Candra Malik

 

Comment on this post

About this blog

Jika diperas, inti Al-Quran ada di Alfatihah. Jika diperas lagi, inti Alfatihah ada di ayat pertama. Jika diperas lagi, intinya ada di kata Rahman-Rahim